Senin, 24 Maret 2008

kontroversi penertiban PKL

Permasalahan penataan kota memang selalu menjadi masalah pemerintah daerah,di satu sisi pemerintah daerah menginginkan setiap penjuru daerahnya selalu indah, rapi dan memberikan fasilitas yang nyaman bagi pejalan kaki dan juga memberikan kenyamanan dalam mengendari kendaran bermotor “tidak macet” yang dituduhkan selama ini kepada para PKL bahwa penyebab macet. Tetapi di sudut yang lain semakin menjulangnya gedung bertingakat,baik itu mall,perkantoran,apartemen dan banyaknya orang kaya baru semakin banyaknya pula para miskin kota. Hal tersebut menandakan bahwa kesenjangan sosial telah terjadi. Maka tidak dipungkiri PKL tersebar di penjuru kota. Hal tersebut diakibatkan oleh minimnya pekerjaan. Dan masalahnya selama ini pemerintah daerah selalu menertibkan PKL tersebut tanpa ada pemecahan persoalan tersebut. Sudah terbukti setiap ada penertiban pastinya setelah penertiban tersebut PKl bakal kembali lagi berjualan.Hal ini sudah membukitikan penertiban yang dilakukan kurang efektif. Hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah kurang memikirkan cara yang memang efektif untuk langsung tepat sasaran memecahkan masalahnya. Misalnya saya memberikan contoh merelokasi PKL ketempat yang masih strategis bukannya membuang PKL ketempat yang kurang strategis dikunjungi pembeli. Hal tersebut bergantung keseriusan pemerintah daerah sendiri, kenapa selama ini tempat perbelanjaan dan semacamnya selalu bisa mendapatkan tempat strategis tetapi PKL kok tidak. Dan cara lainnya pemerintah daerah selalu memberi pelatihan keterampilan yang bisa membuat para PKL sedikit demi sedikit mempunyai kemampuan lain, yang kelak bisa merubah nasib mereka sehingga perhatian mereka tidak ketergantungan pada berjualan di pinggir jalan


DI TULIS OLEH RYAN TRIENDS

Selasa, 11 Maret 2008

pp no.2 tahun 2008??????

dalam UU ini banyak kalangan yang menganggap bahwa peraturan pemerintah ini banyak yang cacat hukum,apakah benar????

Protes public terhadap PP No. 2 tahun 2008, yang dimuat media, membuat Presiden SBY gerah. Sayang, bukannya menanggapi dengan kepala dingin dan terbukan, Presiden menolak membatalkan PP tersebut, dan berkilah putusan itu adalah warisan pemerintahan sebelumnya, juga bertujuan menyelamatkan hutan.

Lagi-lagi pemerintah berbohong. Mereka menyampaikan PP ini dikeluarkan untuk memastikan 13 perusahaan tambang skala besar tidak terganggu oleh status hutan lindung. Padahal, butir 4 lampiran PP, jelas menyebutkan peraturan ini juga berlaku untuk pelepasan lahan lainnya.

PP ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar sewa Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta per hektarnya. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi enegri terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp. 1,2 juta hingga Rp. 1,5 juta. Itu sama dengan Rp. 120-Rp. 300 per meternya.

Fungsi lindung hutan tak bisa diuangkan, apalagi hanya untuk melayani pelaku pertambangan, khususnya pertambangan asing, agar dianggap ramah investasi. Apakah resiko konflik sosial, bencana lingkungan dan warisan lubang-lubang tambang sedalam ratusan meter dan puluhan hektar – akibat daya rusak tambang, juga menjadi ongkos yang diperhitungkan Presiden?

Hampir sebulan ratusan warga Kao Malifut Selatan di Maluku Utara memblokade tambang emas Newcrest – salah satu dari 13 perusahaan tambang yang diloloskan UU No. 19 tahun 2004. Minggu lalu aksi mereka berkahir. Warga menuntut dan mempertanyakan mengapa mereka lebih miskin dibanding sebelum tambang masuk.

Blokade yang sama terjadi 5 tahun lalu, saat Newcrest membabat hhutan lindung Toguraci untuk kawasan tambang. Pelanggaran HAM terjadi. Satu orang meninggal ditembak kepalanya, ratusan lainnya ditangkap oleh Brimob, yang mengamankan perusahaan kala itu. Sayang, buat Presiden lobby pelaku pertambangan lebih jelas dan indah dibanding suara-suara warga Kao Malifut di atas. Dan warga korban tambang lainnya. Jangan heran, jika suara-suara itu tak mampu menghalangi keluarnya PP tersebut.


PP ini akan beresiko melahirkan kerusakan lingkungan yang lebih serius ke depan. Mulai tumpang tindih fungsi yang beresiko konflik sosial dan pelanggaran HAM. Pemerintahan berikutnya dan rakyat sekitar tambang akan menanggung biaya konflik sosial dan pemulihan lingkungan sekitar pertambangan, begitu perusahaan tutup.


PP ini hanya menguntungkan sekelompok pelaku pertambangan dan beresiko tuntutan untuk mendapat perlakuan istimewa serupa dari sektor ekstraktif lainnya, misalnya perkebunan skala besar sawit atau pun usaha lainnya.
PP ini mambahayakan keselamatan rakyat. Kami mendesak Presiden SBY mencabut PP. No. 2 tahun 2008.
apa kata presiden?
jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono minta kepada Menteri Kehutanan MS Ka`ban untuk mensosialisasikan dan menjelaskan kepada masyarakat tentang Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008. Sebab banyak yang keliru menafsirkan PP tersebut, dan menganggap seolah-olah pemerintah melalui PP tersebut begitu saja mengizinkan perusahaan tambang di kawasan hutan, yang berarti tidak sesuai dengan semangat memerangi global warming, untuk mengatasi climate change.

Usai memimpin rapat di Departemen Kehutanan hari Jumat (22/2) siang, Presiden SBY didampingi Wapres Jusuf Kalla dan para menteri mengatakan, ” PP sesungguhnya adalah berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang terbit tahun 2004 yang lalu, yakni PP Nomor 1 tahun 2004 sebagai revisi dari UU nomor 41 tahun 1999, yang juga ditindaklanjuti oleh Keppres No.41 tahun 2004 pada masa pemerintahan Presiden Megawati, yang itu sebetulnya mengatur 13 ijin tetap diberikan kepada mereka yang berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan. Kemudian diatur lebih lanjut, bagaimana agar mereka memberikan kontribusi untuk negara, dimana kontribusi itu penting untuk memelihara, merehabilitasi dan menghutankan kembali kawasan- kawasan itu. Itulah sesungguhnya yang diatur atau jiwa dan semangat dari PP No 2 tahun 2008 itu," kata Presiden.

Presiden berharap kepada Menteri Kehutanan untuk terus menjelaskan kepada publik mengenai PP itu, agar tidak terjadi miss persepsi .” Sebagai bangsa, sebaiknya kita memahami betul duduk persoalan, apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dalam mengelola hutan ini, dan itu juga kelanjutan dari apa yang juga dilakukan pemerintahan sebelumnya. Tujuannya baik, yaitu agar hutan kita makin selamat, mendatangkan penerimaan negara untuk kesejahteraan rakyat kita, disisi lain untuk menyelamatkan bumi kita," kata Presiden.


Sementara itu Menhut MS Kaban menjelaskan selama ini sebenarnya banyak kawasan hutan yang sudah dipinjam pakaikan untuk kepentingan kepentingan selain kehutanan, seperti pemasangan tower, tambang oleh Pertamina atau perusahaan minyak dan lain-lain, dengan aturannya memberikan lahan pengganti. "Tetapi sekarang ini lahan pengganti sudah semakin sulit. Jadi sebenarnya ada perubahan yang tadinya menggunakan lahan pengganti, sekarang diminta kompensasi untuk digunakan Dephut memperluas kawasan-kawasan hutan, membeli atau merehabilitasi kawasan-kawasan yang ada," kata Menhut. "Sekali lagi kami sampaikan bahwa ini bukan penyewaan, karena pemerintah tidak menyewakan. Pemerintah minta kompensasi. Dan perlu diingat, semua perusahaan ini kewajibannya bukan hanya semata mata tarif dari pemanfaatan kawasannya, tetapi juga ada kewajiban membayar DRPSDH atau Dana Reboisasi Provisi Sumber Daya Hutan, serta membayar kewajiban PBB atau pajak-pajak lainnya," jelas MS Ka`ban. (win)